Label Cina, Kambing Hitam dan Pergulatan 25 Tahun Reformasi Indonesia

oleh -1270 Dilihat

Foto: KilasJatim/Tqi

KILASJATIM.COM, Malang – Kita tidak punya Tanah Air lain selain Indonesia. Jangan ingkari dalam darah kita ada darah cina. Mari kita membangun negeri bersama.

Kalimat ini terlontar dari bibir Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ atau biasa di sapa Romo Sindhu, seorang jurnalis, sastrawan dan rohaniawan dalam acara, 25 Tahun Reformasi Indonesia. Siapa Aku dalam Masyarakat Indonesia? Peluncuran kembali novel Putri Cina dan buku Kambing Hitam karya Romo Sindhu serta Penganugerahan Tokoh Peranakan Tionghoa Malang Raya yang Berjasa bagi Bangsa di SMAK Kolese Santo Yusup (Hua-Ind) Malang, Rabu (24/5/23).

Dalam kesempatan tersebut Romo Sindhu menyampaikan pergulatan batin yang belum tuntas, atas kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Dimana toko, rumah dan apa saja milik warga Tionghoa di bakar-dijarah. Para perempuan tidak berdosa di perkosa, dilecehkan hingga saat ini tidak ada penyelesaian, pengungkapan kasus yang meninggalkan trauma panjang bagi korban dan keluarga.

“Sampai hari ini saya ingin membuka kembali peristiwa Mei, ada apa waktu itu. Siapa aku di Indonesia? Siapa aku kok ditolak, tidak diterima. Banyak yang tidak mengakui diri kita Cina. Sedang kita lahir dan hidup di sini,” katanya.

Ia mencontohkan diskriminasi yang dialami anak-anak keturunan Cina, seperti Audrey Yu Jian Hui doktor muda yang ingin menjadi patriot tapi tidak diterima dengan alasan keturunan Cina pada 2017. Hingga ia menulis buku “Mencari Sila Kelima”.

Di sisi lain keturunan Cina pun mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional seperti
Mischika Aoki dan Devon Kei Enzo yang langganan menang olimpiade bidang matematika. Atau Kwee Tjoen Lian lebih dikenal dengan Didik Nini Thowok penari, seniman dan komedian yang namanya sudah mendunia. Serta masih banyak lagi keturunan Cina yang mengharumkan nama bangsa.

Baca Juga :  Tingkatkan Efektivitas Pertanian Perkotaan, Dispangtan Luncurkan Smart Farming

Meski demikian rasisme itu masih ada ,di tengah masyarakat multikultural. Seperti panggilan atau ejekan kata Cino “Ancene Cino”. Ia menilai itu terjadi karena sikap orang Cina sendiri yang ekslusif. Merasa secara ekonomi lebih mampu. Itu yang membuat orang mudah dilabeli.

“Setiap diri ada naluri melakukan kekerasan. Konstelasi politik Indonesia yang tidak dapat diduga, perbedaan warna kulit, kuning, sipit mudah di identifikasi kalau terjadi masalah. Mudah di kambing hitamkan. Sebab kamu bukan kami. Mari kita tidak menghakimi, seperti dalam buku Kambing Hitam,” terangnya.

Selain itu Romo Sindhu berpesan agar generasi muda Cina, tidak hanya menjadi pedagang. Sejak jaman era Orde Baru sudah menjadi mesin pres perdagangan. Di era ini berharap lahir sastrawan Cina. Sebab, jumlah penulis Cina sangat minim.

Di akhir acara turut diberikan penghargaan kepada keturunan Cina di Malang Raya bergerak di berbagai bidang seperti, Dr.dr. H. Sugiharta Tandya,Sp PK (Tan Sing Liang)
sebagai Tokoh Multikultural Peranakan Tionghoa. Kolonel Purn. dr. Tirtahamidjaja Rahardja, SpB, FinaCS (Liem Kian Gwan) sebagai Tokoh Peranakan Tionghoa Pejuang Sosial Kemasyarakatan Yang Berintegritas.

Romo Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ (Liem Tiong Sien), sebagai Sastrawan dan Budayawan Peranakan Tionghoa yang menginspirasi. Sudarno, dari Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Malang. Dr. Agustinus Indradi dan Michelle Aveline Gracia Chandra, Cisi Ma Chung 2023. (tqi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.