Kekerasan Seksual dalam Ponpes, Mengapa Terjadi?

oleh -403 Dilihat

Foto: Tqi

Oleh: Titik Qomariyah

Buku Kekerasan Seksual dan Keadilan yang Harus Ditegakkan, setebal 120 halaman membuat saya termenung. Tentang nasib saudara perempuan di sana yang mengalami kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren (ponpes).

Karya yang terbit atas inisiasi Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (For Mujeres), sangat menarik dibaca. Sekali pun pelakunya telah dijebloskan penjara, tapi korban tetap menanggung beban trauma sampai sisa hidupnya.

Dua tahun lalu Moch Subchi Azal Tsani (MSAT), terdakwa perkara pencabulan dan pemerkosaan santri di Jombang divonis 7 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Dalam sidang pembacaan vonis, Kamis (17/11/2022). MSAT dinilai bersalah karena telah melanggar Pasal 289 KUHP juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP dan Undang-undang 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hukuman tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa 12 tahun penjara.

MSAT salah seorang pimpinan pimpinan Ponpes dan anak dari pendiri Ponpes Majmaal Bahrain Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang. Peristiwa yang dikenal dengan Kasus Ploso, menjadi viral lantaran pelaku tidak bersedia mengakui perbuatannya. Begitu pula ketika proses penangkapan yang membuat Polda Jatim turun tangan, lantaran ia tidak bersedia memenuhi panggilan petugas, guna menjalani pemeriksaan.

Drama belum usai, ketika petugas kepolisian disiram air panas oleh pendukung MSAT saat penggrebekan berlangsung. Selain diberitakan media cetak dan online, sejumlah televisi swasta pun menyiarkan langsung kejadian tersebut.

Dalam buku tersebut disampaikan berapa sulit para santriwati mendapat keadilan. Di lingkungan pesantren, santri umumnya menerima perkataan guru sebagai perintah. Melanggar perintah berarti melakukan kejahatan serius.

Dalam Kasus Ploso, para santriwati dijanjikan akan di tranformasi ilmu
Metafakta secara personal. Nyatanya kekerasan seksual yang mereka dapat.

Baca Juga :  Gendruwo Si Penjaga Lingkungan

Usai peristiwa tersebut, tidak banyak santri yang bersedia bersaksi. Sebagian besar memilih diam dan mendoakan kasus segera terungkap. Semua ini karena kurangnya pengetahuan dan pendidikan seks di pondok.

Adapun pelaku kejahatan seksual, umumnya dilakukan oleh orang yang lebih tua, telah dikenal, guru, ustaz, anak atau pemilik ponpes itu sendiri. Dimana mereka memiliki akses privilege di dalam dan di luar lingkungan ponpes. Sebab jaringan sosial dan politik yang luas membuat pelaku percaya diri. Sebagai pembuktian ia laki-laki dan berkuasa.

Jika kasus perkosaan dan pencabulan yang menimpa sebuah ponpes. Nampaknya ponpes lain sulit memberikan bantuan, melakukan aksi solidaritas. Sebab kode etik antar ponpes, lebih-lebih jika masih berafiliasi, berkerabat atau pernah belajar pada satu ponpes tersebut. Ada semacam kode etik untuk tidak ikut campur.

Kenyataan ini menyakitkan saya. Bagaimana mereka yang fasih berbicara ayat suci. Tapi, mereka pula yang berbuat jahat pada anak-anak dan perempuan.

Usai membaca buku tersebut. Saya berharap tidak ada lagi kasus kekerasan seksual pada santri baik perempuan atau laki-laki. Sebab ponpes adalah tempat menimba ilmu dan rumah kedua bagi mereka yang belajar agama. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.