Disnaker Jatim Maksimalkan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

oleh -1501 Dilihat
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pov. Jatim., Himawan Estu Bagijo (duduk no.2 kiri) dan Anggota DPRD.Jatim , Hari Puji Lestari (sebelah kiri) bersama narasumber dan peserta Forum Discussion Group Implementasi UU No.18 Tahun 2017 di UPT. Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Disnakertrans. Prov. Jatim., Senin (30/12). (Ist)

KILASJATIM.COM, Surabaya –  Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jatim berusaha meningkatkan perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI). Upaya tersebut terungkap dalam Forum Discussion Group (FGD) yang bertemakan peningkatan kualitas tata kelola migrasi tenaga kerja yang bertanggung jawab dan berdimensi responsif gender melalui Implementasi UU No.18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

FGD diselenggarakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan RI bekerjasama dengan International Labour Organitation dan Jaringan Buruh Migran serta didukung oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Prov. Jatim.yang digelar di Kantor Unit Pelaksana Teknis Pelayanan dan Perlindungan Tenaga Kerja  di Surabaya, Senin (30/12).

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Prov. Jatim, Himawan Estu Bagijo dalam sambutan pembukaan FGD menjelaskan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Organisasi Perangkat Daerah yang ia pimpin dan arahan dari Gubernur Jatim telah melakukan terobosan terobosan inovasi pelayanan sesuai dengan semangat dari UU No.18 Tahun 2017 tersebut yang menitikberatkan kepada Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Dalam pelaksanaannya dan tugas kewenangan bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten dan Kota, PMI berasal serta petugas pengawas. Langkah lain membuat aturan yang semudah dan sesimpel mungkin, sebab jika terjadi permasalahan masih tetap diarahkan ke Dinas Tenaga Kerja, minimnya anggaran pelatihan bagi PMI turut mempengaruhi tingkat kerawanan perlindungan saat bekerja di luar negeri.

BACA JUGA: Manjakan Pekerja Migran, Bupati Malang Resmikan Gedung LTSA-PMI

Pemprov Jatim telah berupaya mengimplementasikan UU No.18 Tahun 2017 tersebut dengan berusaha menyiapkan calon PMI yang terlatih terutama sektor informal meskipun pelatihan bagi PMI ini terkendala faktor biaya. “Jika terjadi PMI bermasalah di luar negeri itu penanganannya akan lebih mudah jika yang bersangkutan PMI resmi dan sebaliknya jika PMI non prosedural maka lebih sulit dan tidak terlindungi namun demikian pemerintah tetap berkewajiban melindungi dan melayani,” terangnya.

Baca Juga :  Serahkan DIPA dan TKD TA 2024, Gubernur Khofifah: Setiap Rupiah Anggaran Harus Tepat Sasaran dan Berdampak Bagi Masyarakat

Sementara itu, Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran, Savitri Wisnuwardani menyoroti PMI non prosedural di Indonesia yang masih tinggi tidak terkecuali di Jatim. Calon PMI informal dari kalangan perempuan ini rentan terhadap calo yang membujuknya sehingga menjadi PMI non prosedural apalagi saat sudah berada diluar negeri.

Sedangkan responsif gender diperlukan sinergitas antar lembaga dan lembaga non pemerintah serta diadakannya forum para pihak terkait. “Dari FGD ini ada rekomendasi yang akan disampaikan kepada pemerintah terkait juga implementasi UU No.18 Tahun 2017 dan diperlukan turunan berupa petunjuk pelaksanaan sehingga Pemerintah Daerah bisa membuat juga Perdanya, sedangkan kami dari Jaringan Buruh Migran ini lebih pada memberikan advokasi dan edukasi terutama kepada Calon Pekerja Migran Perempuan karena kasus-kasus trafficking terutama di Timur Tengah meskipun sudah ada moratorium dan di Malaysia masih tinggi, di negeri jiran ini karena faktor serumpun sehingga banyak yang bekerja di sana,” urai Savitri.

Anggota DPRD Jatim dari Komisi E, Hari Putri Lestari ia mengaku prihatin dengan tingginya kasus deportasi PMI asal Jawa Timur yang mencapai angka diatas 500 orang selama tahun 2019 ini, sehingga berharap Pemerintah Provinsi Jatim bisa mencari penyebabnya dan tahun-tahun mendatang bisa berkurang jumlahnya.

BACA JUGA: Pemkab Lumajang Terus Berupaya Tingkatkan Pelayanan di Bidang Ketenagakerjaan

“Mereka dipulangkan tentu ada masalah, jika berangkatnya saja bermasalah tentu beresiko dideportasi,” politisi perempuan dari Fraksi PDI-P ini.

Ia menilai, pelayanan yang dilakukan oleh Pemprov Jatim kepada calon PMI ini, dan pihaknya akan mendorong terhadap fungsi perlindungan dan pengawasan serta fasilitas pelatihan bagi calon PMI ini termasuk langkah bekerjasama dengan mitra swasta dalam pelatihan ini, namun perempuan kelahiran Surabaya ini berpesan meski melakukan kerjasama dengan pihak ketiga namun Pemerintah tetap bisa mengontrol.

Baca Juga :  Hadapi Era Post-Truth dan Disrupsi, Khofifah Ajak Teladani Empat Sifat Rosulullah

Pemerintah juga tetap wajib hadir mendampingi terutama kepada PMI yang bermasalah sampai dipulangkan dan ia mengapresiasi Gubernur Jatim yang menginstruksikan kepada jajarannya untuk mendampingi para pahlawan devisa tersebut.

Kepala UPT Pelayanan dan Perlindungan Tenaga Kerja, Budi Raharjo merilis data selama tahun 2019 ini PMI berasal dari Jawa Timur yang dipulangkan atau dideportasi mencapai 814 orang terbagi 670 orang yang bekerja di Malaysia berada di debarkasi Riau dan 144 orang di turun di Juanda yang bekerja di Malaysia, Taiwan, Hongkong dan Arab Saudi.

“Mereka PMI yang dideportasi atau dipulangkan itu penyebabnya bisa jadi kabur, putus kontrak tetapi tidak memperpanjang kontraknya dan terlambat mengurusnya sehingga bisa jadi saat berangkatnya prosedural karena tidak menguras perpanjangan sehingga bisa menjadi ilegal, nah ini pentingnya PMI bekerja di luar negeri dengan legal atau prosedural dan pemerintah bisa cepat membantu jika ada masalah,” terangnya. (kominfo/kj7)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.