Bung Karno dan Mesin Waktu dari Samarkand

oleh -788 Dilihat

Oleh Eri Irawan,
Ketua Komisi C DPRD Surabaya

Pementasan drama musikal dan tablo ”Imam Al-Bukhari dan Sukarno” di Balai Budaya, Surabaya, 27 Juni 2025, adalah perjalanan menyusuri lorong waktu yang reflektif. Dari sana kita tahu bahwa tafsir sejarah tak seharusnya didominasi oleh kekuasaan, melainkan oleh kemanusiaan dan ingatan terhadap hal-hal yang bajik.

Pentas yang disutradai Ahmad Fauzi dan Valikhon Umarov, serta dibintangi seniman Indonesia dan Uzbekistan tersebut, menghadirkan sejarah sebagai momentum ulang alik antara dua waktu dan dua bangsa: Indonesia dan Uni Soviet. Momentum yang suka atau tidak mempengaruhi konstelasi geopolitik pada era 1950-an.

Kehadiran tiga imam berbaju putih membuka pementasan. Ketiganya membawa lilin lalu berjalan di atas panggung berlatar galaksi. Suasana malam syahdu di panggung mengawali kisah tentang Muhammad bin Ismail al-Bukhari, sang perawi hadits, yang masa kecilnya mengalami gangguan penglihatan, namun berkat doa ibunda yang tiada henti, mata sang anak akhirnya sembuh. Ada kisah yang menyebut ibunda Imam Bukhari bertemu Nabi Ibrahim dalam mimpi, lalu menyampaikan bahwa Allah SWT telah mengembalikan penglihatan sang buah hati, karena banyaknya doa yang didaraskan sang ibu. Dari sanalah kemudian rihlah keilmuan Imam Bukhari dimulai: belajar giat, berguru ke banyak ulama, dan menjadi perawi hadits paling terkemuka.

Singkat cerita, pada 1950-an, Pemimpin Uni Soviet Nikita Khuruschev melayangkan undangan kepada Presiden Sukarno untuk mengunjungi Uni Soviet—saat itu bernama Uni Republik Sosialis Soviet (USSR). Bagi Uni Soviet, posisi Indonesia sangat penting di tengah ketegangan dua blok ideologi besar yang bertubrukan: ”Blok Timur” yang dipimpin Uni Soviet dan ”Blok Barat” yang dipimpin Amerika Serikat.

Khruschev sadar, Sukarno punya pengaruh kuat di kalangan negara Dunia Ketiga. Keberhasilan Bung Karno mengonsolidasikan kekuatan bangsa-bangsa dalam Konferensi Asia Afrika, misalnya, menunjukkan Bapak Bangsa Indonesia itu mampu memainkan peran penting: bukan ikut pendulum ”blok kapitalisme” atau ”blok sosialisme”, melainkan malah menjadi pendulum baru tersendiri. Maka penting bagi Uni Soviet untuk menarik Sukarno “lebih ke kiri”.

Bung Karno memberi syarat kepada Uni Soviet. Dia baru akan ke Soviet setelah makam Imam Al-Bukhari ditemukan. Ini kecerdasan politik diplomasi Sukarno.

Imam Bukhari adalah tokoh berpengaruh dalam khazanah intelektual Islam. Perawi hadits, pemimpin di antara para ahli hadits, Amirul Mukminin fil Hadits, yang kitabnya dikenal luas di Indonesia dan seluruh dunia serta menjadi rujukan utama soal hadits. Imam Bukhari menghapal 15 ribu hadits Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga :  Ditemani Suara Deburan Ombak yang Indah, Ini Tempat Ngabuburit Asyik di Pacitan

Sukarno akhirnya berangkat ke Soviet pada 4-6 September 1956, setelah Khruschev mengabarkan bahwa makam Imam Al-Bukhari ditemukan di Samarkand, sebuah kota tua di Asia Tengah yang menjadi salah satu pusat perkembangan keilmuan Islam di masanya. Kini masuk wilayah Uzbekistan, negara yang menjadi salah satu jantung Jalur Sutera, jalur utama perdagangan dunia ribuan tahun silam, yang sekaligus bagian peradaban yang menumbuhkan seni, budaya, dan teknologi.

Dari Samarkand pula, sejumlah ulama Nusantara berasal. Baik lahir maupun belajar di sana sebelum berlayar ke Nusantara. Salah satunya adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmoroqondi yang dimakamkan di Tuban dan hingga kini ramai diziarahi. Yang dari sana kemudian kita tahu bagaimana ulama Nusantara dahulu kala konsisten meyakini bahwa Islam seharusnya diajarkan dengan keceriaan, kedamaian, dan memberikan ketenteraman.

Keyakinan tentang bagaimana seharusnya Islam diajarkan ini yang kemudian membuat para ulama Nusantara terdahulu, termasuk yang berasal dari Samarkand, lebih menitikberatkan ajarannya pada harmoni lelaku agama dengan masyarakat sekitar. Berlomba-lombalah berbuat kebajikan, karena hanya dengan kebaikan kita diterima dan bermanfaat terhadap sesama. Sesuatu yang disukai Sukarno, yang memang menginginkan Islam ”ditangkap apinya, bukan abunya”.

Hari itu akhirnya tiba. Ditampilkan di panggung Balai Budaya Surabaya, Bung Karno ditemani Sutarto Hadisudibjo, Arudji Kartawinata, Sukirman, Leimena, dan sejumlah ajudan, dengan kereta api, bertolak dari Tashkent ke Samarkand. Dua kota itu berjarak 344 kilometer. Dengan teknologi kereta api di eranya, digambarkan lewat panggung teater yang dihelat Yayasan Taut Seni dan didukung DPP PDI Perjuangan itu, Sukarno harus menempuh waktu yang lumayan panjang sampai-sampai sang proklamator terus bertanya kapan tiba di Samarkand—kini dengan kereta cepat, Tashkent-Samarkand bisa ditempuh dalam dua jam.

Dengan latar dan suara kereta dalam perjalanan yang melelahkan itu, dengan tetap tayamum dan salat di atas kereta, Bung Karno bercerita bahwa dia kerap membahas soal Imam Bukhari dalam surat-suratnya ke Ahmad Hassan, tokoh organisasi Persatuan Islam. ”Tuan, sayang(nya) belum ada (kitab) Bukhari dan Muslim yang bisa (saya) baca. Betulkah belum ada (kitab) Bukhari (terjemahan) Inggris? Saya pentingkan sekali mempelajari Hadis, oleh karena menurut keyakinan saya yang sedalam-dalamnya, sebagai yang sudah saya tuliskan sedikit dalam salah satu surat yang terdahulu, dunia Islam menjadi mundur oleh karena banyak orang ”jalankan” hadis yang dhaif dan palsu. Karena hadis-hadis yang demikian itulah, maka agama Islam diliputi oleh kabut-kabut kekolotan, ketakhayulan, bid’ah-bid’ah, anti-rasionalisme, dll. Padahal tak ada agama yang rasional dan simplistis daripada Islam,” tulis Bung Karno kepada Ahmad Hassan, 26 Maret 1935.

Baca Juga :  Siasat Boneka-boneka Malang: Dalam Tragedi 65

Ini artinya kesadaran Sukarno tentang pentingnya posisi Imam Bukhari dalam intelektualisme Islam sudah tertanam lama, puluhan tahun sebelum Bung Karno bersikukuh meminta pemimpin Soviet untuk menemukan makam sang perawi hadits tersebut.

Penulis di makam Imam Bukhari

Suasana hangat di Samarkand

Pada akhirnya, perjalanan Sukarno dalam memuliakan sang perawi hadits itu menjadi kenangan tak terlupakan bagi warga Uzbekistan. Sebuah perjalanan panjang yang puluhan tahun kemudian dikenang oleh Gulbahor Mamedova, yang menjadi narrator di panggung malam itu, sebagai sebuah peristiwa bersejarah dalam hidupnya.

Gulbahor masih berusia sepuluh tahun, dan menjadi bagian dari ribuan warga setempat yang menyambut Bung Karno, memajang fotonya, dan sepanjang jalan riuh masyarakat memekikkan kata ”merdeka”. Seorang lelaki dari Indonesia telah berhasil menghangatkan Perang Dingin di dunia yang tengah tidak baik-baik saja.

”Saat itu Perang Dingin, tapi Soekarno membuatnya hangat. Dia orang yang sangat hangat,” ujar Gulbahor.

Puluhan tahun kemudian, di sebuah gedung kebudayaan di Surabaya—yang juga dihadiri para pengurus DPP PDI Perjuangan seperti Tri Rismaharini, Yanti Sukamdani, Ribka Tjiptaning, Sri Rahayu, dan Yuke Yurike, serta cucu proklamator Puti Guntur Soekarno, kita tahu sejarah pada akhirnya memang harus ditafsirkan untuk kemanusiaan, untuk cinta. Dan kisah Bung Karno dalam pencarian sebuah makam di Samarkand telah memperkuat peradaban Islam hingga kini.

Imam Bukhari wafat pada tahun 870. Bung Karno lahir pada 1901. Terpaut 1.031 tahun. Tapi rentang waktu satu milenium itu ditautkan oleh cinta. Cinta yang menurut Imam Al-Bukhari ”bukanlah apa yang engkau korbankan, akan tetapi cinta adalah tentang apa yang engkau berikan untuk terus tumbuh dalam jiwa”. [*]

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.