KILASJATIM.COM, Malang – Berdiri di muka kelas, membawa penggaris panjang 100 cm. Sekilas penggaris itu seperti tongkat, sebagai tumpuan tangan kanan. Sedang tangan kiri ke belakang, seperti istirahat ditempat. Matanya awas mengamati kami.
Sesekali ia betulkan letak kacamatanya, mulutnya komat-kamit, seperti menghitung jumlah murid. Dan kami ketakutan, tak berani bergerak, sekadar menggeser tempat duduk pun tidak.
Kami memanggilnya Bu Tadi, lupa nama aslinya. Tadi berasal dari nama suaminya Sutadi, yang menjadi nama belakangnya. Ia guru Matematika suka melakukan tebak-tebakan sebelum berakhirnya jam pelajaran.
“Sudah siap. Dengar baik-baik, yang bisa menjawab boleh pulang. Sembilan kali sembilan, angkat tangan, ” katanya memulai permainan.
Tak ada celometan, tak berani menoleh apalagi memberi contekan. Bagi yang bisa angkat tangan menjawab pertanyaan, jika benar boleh pulang. Jika salah harus menjawab sampai benar. Tiga kali membuat kesalahan silahkan pilih jari mana yang siap dipukul penggaris.
Seisi kelas ini pernah merasakan pukulan penggaris. Sebagai pemanasan penggaris panjang akan dipukulkan diatas papan atau meja guru. Itu cukup menteror kami.
Rasa takut, membuat kami menghafal perkalian. Menyimak jawaban kawan, siapa tahu pertanyaan serupa dilontarkan kembali. Di rumah, diam-diam menghapal perkalian.
Jika kena pukul dan menangis. Mengadu pada ibu atau ayah di rumah. Jangan harap orang tua saya, datang ke sekolah, melabrak guru apalagi lapor polisi. Seperti kebanyakan orang tua sekarang. Yang terjadi ibu akan marah karena malas belajar. Ayah saya dapat laporan dari ibu akan menambah pukulan di kaki dengan sandal swalow yang mulai tipis.
Sakit yang berlipat. Dari jari sampai kaki. Maka saya diam, teman-teman lain pun melakukan hal serupa.
“Gara-gara Bu Tadi, sampai sekarang aku hapal perkalian dan rumus matematika. Kalau dipikir mendingan guru kereng, murid jadi pinter. Ga seperti anak sekarang SMP ga bisa baca, SMA ga bisa perkalian, ” kata Isma, kawan SD dulu yang datang ke rumah Senin (25/11/2024).
Ia membandingkan dengan Supriyani guru honorer SDN 4 Baito, Konawe Selatan yang dilaporkan memukul siswa kelas satu, anak seorang polisi. Di Hari Guru Nasional ini, Ia mendapat vonis bebas dalam persidangan di PN Andoolo Konawe Selatan. Hakim menyatakan, Supriyani tidak bersalah.
Kami membayangkan jika orang tua, melaporkan guru yang sudah memukul jari atau mencubit. Mungkin hari ini, kita tidak pandai berhitung.
“Mungkin kita seperti anak sekarang yang ha, ho, he kalau ditanya penjumlahan, ” tambahnya.
“Barokah e, ketemu guru disiplin. Ilmunya melekat sampai sekarang, ” ucap saya.
Selamat Hari Guru Nasional, bagi semua guru yang merayakan. Semoga orang tua lebih bijak dalam mendidik anak dan tidak ada lagi guru yang mengalami nasib seperti Suriyani. (TQI)