Foto: Tqi
KILASJATIM.COM, Pasuruan –
Ini seperti pengulangan perjalanan. Dari masa lalu, masa kecil tepatnya. Dulu setiap liburan saya tinggal di rumah kakek buyut daerah Kauman Jobong, sekarang jalan Mujair, Bangil, Kabupaten Pasuruan. Setelah remaja, saya tak pernah ke sana, sebab rumah berarsitektur Belanda dijual.
Dulu di halaman rumah itu ada sebuah pohon belimbing dan dibelakangnya ada sumur. Menuju sumur ber air jernih bisa lewat dalam rumah atau pintu samping. Ada gang di mana saya biasa cuci kaki dan tangan setelah bermain di sungai.
Kakek buyut saya dikenal sebagai perajin perhiasan emas, dengan sejumlah pegawai laki-laki yang bekerja di besali, semacam studio untuk melebur logam mulia menjadi bentuk baru, cincin, giwang, kalung dan sebagainya.
Dulu saya pernah melihat mereka memanaskan emas dalam wadah kecil terbuat dari tanah. Hasil perhiasan emas umumnya pesanan toko emas di sekitar alun-alun. Maupun sejumlah warga di wilayah Bangil, Pasuruan dan Surabaya.
Sedang nenek buyut saya perajin tembikar. Membuat kemaron, wadah besar terbuat dari tanah. Gendok, cobek, kendi juga gelas dari tanah liat. Tak jauh dari rumahnya ada Jobong, tempat membakar hasil kerajinan tersebut.
Nenek buyut, sangat cantik dengan giwang berlian menempel di telinga keriput. Ia tak banyak bicara, selalu baik pada buyut nya, pandai memasak pula.
Bangil kota yang panas, setiap malam ia ngipasi saya dengan kipas terbuat dari anyaman bambu. Bila ia tertidur dan saya masih terjaga, saya jawil tangganya. Dengan mata terpejam tanganya terus ngipasi, sedang tangan lainnya menepuk-nepuk paha agar lekas terlelap.
Pada kakek buyut tak banyak kenangan yang saya ingat. Selain setelan beskap, lengkap dengan selop dan blangkon. Beberapa pasang selop dalam lemari kaca tampak mengkilap, begitu pula jam bandul disaku seperti milik pembesar keraton Jawa Tengah.
Penampilan tidak lumrah bagi masyarakat Bangil, baik dulu maupun sekarang. Konon, jika bepergian ia naik sepeda jengki kuno atau dijemput becak.
Sepanjang pengetahuan saya, orang Bangil biasa memakai sarung atau celana longgar. Sebab mereka biasa bekerja sebagai petani, nelayan atau pengolah tambak ikan.
Setelah keduanya meninggal, rumah tersebut dihuni saudara ibu. Lambat laun rumah itu dijual pula. Rumah bergaya Belanda dibongkar oleh pemilik barunya. Jendela besar dengan teralis besi serta pintu kupu tarung entah ada dimana. Juga pohon belimbing dan Besali lenyap dari pandangan. Saya tak pernah ke sana lagi.
Dengan kerabat, hubungan sedikit berjarak. Tidak ada masalah, hanya tidak suka dengan hawa panasnya. Setiap ada acara mantenan, lahiran, melayat atau apa saja. Sangat jarang saya datang, hanya titip dan titip saja.
Ini membuat keluarga besar nyumpahi, agar kembali ke sana. Benar saja, putri saya PKL, praktek kerja lapangan pada toko retail tak jauh dari alun-alun kota. (tqi)