KILASJATIM.COM, Malang- Buwuhan atau buwuh antara kerukunan dan keluhan. Seperti yang terjadi sekarang, ketik musim hajatan dari khitanan sampai kawinan.
“Ini adalah minggu terakhir, hari ini dua undangan semoga tidak ada susulan lagi,” Ning, kawan sekampung yang mengeluh atas banyaknya undangan hajatan dari rekan kerja dan tetangga.
Menurutnya, sejak masuk awal bulan Besar dalam kalender Jawa dan Dzulhijjah dalam kalender Islam, atau antara Mei-Juni ia menerima 13 undangan khitan dan nikahan. Dari kawan dekat, sekadar kenal biasa sampai teman baik.
Banyak nya undangan membuatnya berpikir akan buwuh atau memberi uang dalam amplop berapa? Ditambah lagi kebutuhan rumah tangga dan anaknya yang masuk perguruan tinggi.
Ia sempat berpikir untuk memilih undangan man yang dihadiri dan tidak. Tetapi Ning, jenis orang yang tidak enak an. Begitu pula dengn besarnya amplopan yang harus di isi.
“Wes lah aku ini, merem-mereman ada yang tak kasih lima puluh. Kalau dalam gedung ya seratus. Yang paling pusing teman baik dulu pas aku mantu di amplopi sejuta,” ceritanya.
Alhasil ia harus menguras tabungan, serta menggadaikan dua gelang untuk biaya buwuhan dan biaya kuliah. Meski awalnya biaya kuliah telah disediakan, namun banyaknya undangan hajatan membuatnya mengencangkan ikat pinggang.
“Ini undangan paling banyak, sehari bisa dua- tiga kali datang di acara. Semoga tidak ada lagi undang susulan, sebab (bulan) Besar masih beberapa hari lagi,” harapnya.
Kita akui atau tidak buwuhan adalah tradisi yang mengakar dalam budaya kita. Meski awalnya bertujuan baik, buwuhan untuk menyambung silaturrahim dan meringankan beban pemilik hajat, dengan memberikan bantun dari bahan makanan mentah hingga uang yang besarnya sesuai kemampuan.
Tidak jarang dalam prakteknya, buwuhan seperti hutang. Berapa besar yang kita terima harus dikembalikan sama besarnya, mungkin juga lebih jika dihitung inflasi nilai tukar rupiah. Sebab, ada perjanjian tidak tertulis, jika kita tidak memberikan nilai buwuhan yang sama menimbulkan rasa tidak enak, sungkan. Dalam etnis tertentu malah terjadi cekcok, bahkan sampai perkelahian jika nilai buwuhan tidak sebanding yang pernah diberikan.
Mungkin disini lah repot nya. Sebuah kegiatan sosial dan sambung silaturahmi menjadi ajang barter, dianggap hutang-piutang yang wajib dibayar. Bila tidak ingin dicap makan uang teman. (TQI)