Kepala BPJS Kesehatan Cabang Surabaya Hernina Agustin Arifin (kanan) bersama Ketua BPJS Watch Jawa Timur Arief Supriyono memberi paparan kepada media di Surabaya, Jumat (20/6/2025) (kilasjatim.com/nova)
KILASJATIM.COM, Surabaya – Beredar dikalangan masyarakat yang membuat resah, kabar 144 penyakit tidak ditanggung BPJS Kesehatan, jenis pengakit tersebut tak dapat dirujuk ke rumah sakit jika menggunakan BPJS Kesehatan. Benarkah? Ini penjelasannya.
Kepala BPJS Kesehatan Cabang Surabaya Hernina Agustin Arifin secara tegas membantah itu semua. menurutnya layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tetap memberikan jaminan kesehatan menyeluruh bagi peserta.
“Informasi yang beredar ini perlu diluruskan. Daftar 144 penyakit itu bukan tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan tetapi memang bisa ditangani langsung di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) secara mandiri dan tuntas sesuai kompetensi dan standar pelayanan yang ada. Kami optimalkan Layanan di FKTP,” kata Hernina Agustin Arifin kepada wartawan di acara Cangkruk Bareng Media Surabaya, Jumat (20/6/2025).
Pernyataan ini merespons keresahan publik yang khawatir bahwa ratusan jenis penyakit tersebut tak lagi dibiayai oleh BPJS Kesehatan. Dijelaskan, daftar 144 penyakit itu mengacu pada Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Artinya, dokter di Puskesmas dan klinik sudah memiliki kompetensi untuk menangani kasus-kasus tersebut tanpa perlu rujukan ke rumah sakit.
Karena itu 144 penyakit yang dimaksud adalah penyakit yang secara klinis bisa diselesaikan terlebih dulu di FKTP. Jika kondisi pasien tidak membaik atau memang membutuhkan penanganan lanjutan, pasien tetap bisa mendapatkan rujukan ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), seperti rumah sakit, asalkan memenuhi indikasi medis.
” Dasarnya mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012. Berdasarkan SKDI 2012, Konsil Kedokteran Indonesia menetapkan 144 penyakit yang dapat ditangani secara mandiri dan tuntas oleh dokter layanan primer di FKTP, tanpa harus langsung ke RS,” jelasnya.
Ditegaskan Hernina, kebijakan optimalisasi layanan di FKTP dilakukan agar peserta mendapatkan pelayanan yang cepat, dekat, dan berkualitas tanpa harus langsung ke rumah sakit. Ini juga merupakan bagian dari strategi penguatan layanan primer yang diatur dalam regulasi standar kompetensi dokter dan kebijakan JKN.
Masyarakat diimbau untuk tidak terpancing informasi yang tidak utuh atau keliru di media sosial. Masyarakat diminta aktif mencari informasi dari sumber resmi, seperti aplikasi Mobile JKN atau kanal komunikasi BPJS Kesehatan.
Pada kesempatan yang sama, Ketua BPJS Watch Jawa Timur Arief Supriyono, menegaskan bahwa Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/1186/2022 dan Nomor HK.01.07/MENKES/1936/2022 telah mengatur standar praktik klinis dokter dalam menangani penyakit-penyakit tersebut.
“Jika pasien merasa tidak enak badan, selama tidak dalam kondisi gawat darurat, maka mereka seharusnya berobat ke FKTP tempat mereka terdaftar terlebih dahulu. Sesuai Permenkes Nomor 28 Tahun 2014, dokter di IGD-lah yang menilai apakah suatu kondisi pasien masuk kategori kegawatdaruratan atau tidak,” tegas Arief.
Hanya saja layanan di FKTP kadang belum optimal, kurang disiplin dalam menegakkan layanan kesehatan. Yang banyak dia temui, saat pasien butuh pelayanan, dokter di FKTP tidak ada di tempat.
“Pelayanan kesehatan lebih banyak ditangani perawat atau bidan yang ada di klinik. Yang jadi catatan BPJS Watch terutama FKTP adalah bagaimana mereka berkomitmen dengan BPJS Kesehatan untuk memberikan layanan kesehatan di FKTP itu dengan baik sesuai dengan indikasi medis,” tandasnya.
Pihaknya yakin, kalau dokter-dokter itu stay di FKTP, tidak ada polemik seperti ini di masyarakat. Karena sesuai dengan penjelasan Kepala BPJS Kesehatan Surabaya, seharusnya dokter-dokter di FKTP bisa memberikan layanan kesehatan secara mandiri dan tuntas
BPJS Watch mendorong agar Puskesmas milik pemerintah beroperasi 24 jam. Dalam hal ini Dinas Kesehatan harus tegas dengan membuka ruang agar layanan Puskesmas bisa beroperasi sepanjang hari, terutama di daerah dengan kepadatan pasien tinggi.
BPJS Wacth juga mendorong agar rawat inap yang ada di FKTP dioptimalkan karena mereka juga bisa menerima pasien JKN 3 hari apabila mereka membutuhkan rawat inap seperti diare ringan, DBD ringan, atau tifus. Tidak harus semua penyakit diselesaikan di FKRTL.
“Fasilitas kesehatan di FKTP dengan preventif, promotifnya bisa dijalankan. Sayangnya selama ini tidak berjalan optimal, bahkan ada yang tak jalan. Sehingga kecenderungannya, azas layanan kesehatan yang dilakukan masyarakat itu azas layanan kesehatan kuratif. Sudah sakit, butuh layanan lebih di rumah sakit,” katanya.
Saat ini, BPJS Kesehatan Cabang Surabaya telah bermitra dengan 234 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), 61 rumah sakit dan klinik utama sebagai Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), serta 120 fasilitas pendukung lainnya seperti apotek, laboratorium, dan optik.
Dalam periode Januari hingga April 2025, BPJS Kesehatan telah membayarkan klaim senilai Rp 1,7 triliun kepada fasilitas kesehatan mitra di Surabaya. Jumlah ini mencakup layanan untuk peserta dari luar kota yang menjalani pengobatan di Surabaya.
Per 1 Juni 2025, cakupan kepesertaan JKN di Kota Surabaya telah mencapai 99,08% dari total penduduk sebanyak 3.180.022 jiwa. Namun, hanya 81,98% dari peserta tersebut yang status kepesertaannya aktif. Artinya, sekitar 500.000 warga Kota Surabaya belum memiliki kartu JKN yang aktif. (nov)